Demokrasi dan Nilai Pendidikan Politik dalam Islam
Demokrasi dan nilai pendidikan politik dalam islam. Tulisan ini dibuat oleh Al-Ustadz Hasbi Habibi pegiat kajian keislaman.
Manusia secara alamiah mempunyai fitrah sebagai makhluk politik (zoon politicon –istilah filsuf Aristoteles) yang tidak dapat dipisahkan dengan konteks sosialnya. Perbedaan yang ada dalam bentuk fisiologis manusia sebenarnya merupakan sunatullâh dan kehendak Tuhan yang seharusnya dihadirkan sebagai potensi untuk menciptakan kehidupan sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keragaman.
Hal inilah selayaknya dijadikan potensi dasar untuk membangun kehidupan bersama yang damai serta meneguhkan pola interaksi sosial dalam mewujudkan kehidupan bersama yang penuh ketentraman. Bukan malah sebaliknya, perbedaan yang ada di tengah kehidupan sosial yang kompleks dijadikan sebagai media disfungsional yang menyebabkan ketidakharmonisan sosial, konflik horizontal dan ‘saling menjatuhkan’.
Maka di tengah kehidupan sosial yang penuh dengan keragaman, menjadi tantangan tersendiri dalam mengusung pendidikan politik melalui nilai politik yang harmoni. Realitasnya, acapkali dalam kehidupan sosial, nilai-nilai harmonis yang seharusnya menjadi dasar pijakan dalam membangun pondasi kehidupan sosial yang damai malah berbalik menjadi ancaman perpecahan sosial karena hanya mengedepankan nilai-nilai anti humanis, anti kedamaian dan diskriminatif.
Islam sebagai agama diyakini mempunyai nilai-nilai universal (rahmatan lil âlamîn) dengan serangkaian nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keharmonisan di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Islam dengan semangat religiusitasnya dituntut mampu untuk menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat untuk hidup rukun dan berdampingan tanpa saling menghujat karena perbedaan ‘warna pilihan’.
Standar kemaslahatan yang harus ada dalam kehidupan manusia merupakan bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip tersebut terangkum dalam pola maqâṣid asy-syari’ah, yang di dalamnya meliputi lima hak dasar manusia (al-kulliyat al-khams), yaitu perlindungan atas keyakinan atau agama (hifdẓ al-dîn), perlindungan terhadap jiwa (hifdz an-nafs), perlindungan terhadap kehidupan dan pemikiran (hifdẓ al-’aql), jaminan atas kehormatan atau keturunan (hifdẓ al-naṣl) serta jaminan atas kepemilikan (hifdẓ al-mâl). Pada konteks ini, universalisme pandangan hidup (weltanschauung) Islam terletak pada pandangan keadilan sosialnya dengan saling menghargai dan mengayomi antar sesama.
Fungsi agama Islam adalah mengembalikan manusia kepada semangat religius (al-rûḥ at-tadayyun) sesuai dengan substansi ajaran Islam yang benar. Bentuk dari seseorang mampu memahami pola keberagamaannya yang benar adalah dilihat dari perilaku dalam kehidupannya sehari-hari yang diwarnai dengan ajaran agama.
Semangat religiusitas tercermin dari tema-tema humanis yang dibawa Islam itu sendiri, seperti perdamaian, toleransi, keseimbangan dan keadilan. Dalam hal ini, ajaran Islam dengan semangat keberagamaannya sangat menekankan bentuk egalitarian dalam membangun masyarakat yang beradab (al-madînah al-faḍîlah/ civil society).
Baca juga: Poligami dan Monogami dalam Perspektif Hukum Islam
Nilai-nilai Demokrasi dalam Islam
Tarik menarik pemahaman mengenai relasi antara Islam dan demokrasi sampai saat ini masih terus terjadi. Pandangan mengenai relasi keduanya jika dirunut ke belakang dalam konteks politik, Islam pada dasarnya menitikberatkan pada tauhid dan kedaulatan Allah sebagai bentuk landasan dari sistem sosial yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran inilah yang merupakan titik pijak pendidikan politik dalam Islam.
Ajaran pokok Islam menekankan bahwa setiap manusia secara individual maupun kolektif mempunyai hak untuk memimpin dan mempertanggungjawabkan terhadap apa yang dipimpinnya. Setiap manusia memiliki potensi yang sama dan sederajat untuk mencapai karir tertinggi dalam hidupnya. Sehingga nilai-nilai moral yang dibawa al-Qur’an secara substansial telah memberikan panduan yang jelas bagaimana kehidupan manusia dibangun berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kesamaan.
Tujuan utama al-Qur’an tersebut adalah memberikan panduan berupa nilai-nilai dan perintah-perintah etik sosial kemasyarakatan dijunjung tinggi dan bersifat mengikat dalam kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Karena itu, keharusan menegakan nilai-nilai etik moral dari al-Qur’an menjadi keniscayaan bagi umat Islam, kapan dan dimanapun berada dengan cara yang positif-konstruktif.
Secara umum, beberapa prinsip dalam al-Qur’an yang sejalan dengan prinsip demokrasi antara lain: Pertama, prinsip kesetaraan, yaitu pandangan setiap orang memiliki kedudukan yang sama tanpa memandang perbedaan ras, agama kedudukan sosial dan bahasa (Q.S. al-Hujurat ayat 13). Kedua, prinsip kebebasan, yaitu adanya jaminan kepada setiap orang untuk menyampaikan pemikiran dan pendapat dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan ber-akhlâqul karîmah (Q.S. At-Taubah ayat 105).
Ketiga, prinsip musyawarah, yaitu melibatkan pihak yang memiliki kepentingan untuk memutuskan urusan bersama (Q.S. Ali Imran ayat 159). Keempat, prinsip keadilan yaitu, menempatkan suatu keputusan sesuai dengan hakikat kebenarannya (Q.S. al-Nisa’ ayat 135). Kelima, prinsip keumatan, yaitu kewajiban membela dan mempertahankan hak warga negara dari gangguan siapapun. Hak tersebut meliputi hak beragama, harta benda, kehormatan diri, keselamatan diri dan keturunan.
Dalam konteks Indonesia, maka prinsip-prinsip dasar tersebut merupakan landasan utama dalam membangun demokrasi yang sesungguhnya, sebab demokrasi jika hanya dipahami sebagai rutinitas penyelenggaraan kegiatan politik semata tidak akan memberikan kontribusi apapun bagi masyarakat. Demokrasi hendaknya dipahami sebagai sebuah instrumen penjaminan hak-hak rakyat, sehingga demokrasi bukan hanya dilaksanakan pada ranah prosedural, tapi harus menyentuh substansi demokrasi yang sesungguhnya.
Melalui demokrasi yang lebih substantif ini diharapkan akan terbangun suatu masyarakat yang komunikatif, yang dicirikan dengan adanya konsensus, kesetaraan, saling memahami, dan kesediaan untuk berdialog. Dalam hal ini agama berperan sebagai suatu nilai etika (moral/akhlak).
Di sinilah pada dasarnya demokrasi bukan hanya menyangkut sistem politik pada tingkat negara, dan lebih dari itu bahwa demokrasi juga mencakup kehidupan keseharian masyarakat. Proses demokrasi harus tercermin dalam interaksi antar kelompok dan golongan dalam masyarakat, karena pola kehidupan keluarga, bahkan hubungan antar individu harus didasarkan pada sistem demokrasi.
Dalam pengertian lain bahwa demokratisasi harus dimulai dari ruang terkecil dalam interaksi masyarakat, baik pada tataran individu, struktur relasi kekuasaan juga menentukan esensi dan kualitas demokrasi level di atasnya yakni masyarakat dan negara. Proses demokrasi akan berlangsung lebih baik jika setiap individu memiliki pengetahuan yang memadai tentang nilai-nilai demokrasi.
Berangkat dari pandangan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan politik sebagai aspek paling penting bagi upaya menumbuhkan sikap dan perilaku demokratis maka perlu didasari prinsip humanisme. Dalam hal ini tujuannya adalah bagaimana mendidik generasi bangsa agar dapat berpikir kritis. Proses ini dilakukan untuk membangun adanya kebebasan menentukan pilih yang akan terwujud dalam demokratisasi pendidikan di masyarakat.
Pendidikan Politik yang Humanis
Pendidikan politik dituntut harus dapat mengembangkan afektif dan psikomotorik manusia agar mampu menjawab tantangan internal dan eksternal dalam mewujudkan proses sosial yang demokratis, berkualitas, dan kritis. Kerangka acuan pemikiran dan pengembangan pendidikan politik harus mengedepankan prinsip-prinsip yang mampu mendukung gagasan tersebut seperti kesetaraan, kejujuran dan keadilan.
Karena itu, pendidikan politik harus dikembangkan berdasar pada paradigma yang berorientasi pada pembangunan, pembaharuan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasi dengan keluhuran moral dan kepribadian sehingga akan melahirkan generasi bangssa yang terus belajar (long life education), mandiri, disiplin, terbuka, demokratis, inovatif, dan mampu menyelesaikan persoalan kehidupan.
Dalam sistem sosial kemasyarakatan, pendidikan merupakan salah satu media yang mampu membantu mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia. Seiring berjalannya waktu pelaksanaan pendidikan banyak mengalami persoalan pada hal peranan pendidikan sangat penting dalam memberikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas kehidupan manusia, termasuk dalam masalah politik.
Pendidikan sebagai suatu proses pengubahan cara berpikir, penyuluhan dan latihan proses mendidik, yang nantinya bisa melahirkan individu, keluarga dan masyarakat yang saleh serta mampu menumbuhkan konsep konsep kemanusiaan yang baik di antara umat manusia. Oleh sebab itu pendidikan tidak berada dalam ruang yang hampa, melainkan ada dalam dan sesuai dengan konteks yang mengitarinya.
Oleh sebab itu pendidikan politik harus berorientasi pada penanaman kesadaran kritis agar mampu membangun framework yang memungkinkan untuk memahami berbagai persoalan hidup yang ada.
Maka materi pendidikan politik harus mengarah pada penguatan atas pluralis, menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh dan mampu menghormati hak-hak orang lain dengan silih asih, silih asah, silih asuh. Sehingga generasi masa depan tidak hanya pintar membaca teks tapi juga pintar membaca konteks sosial tempat mereka hidup.
Dengan pemahaman keIslaman yang lebih substantif ini masyarakat akan terhindar dari sikap beragama yang formalis-ritualis, sebab sikap demikian hanya akan menyempitkan makna beragama, orang tidak akan peka lagi terhadap realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
Pendidikan politik mengindikasikan demokrasi sebagai alternatif bagi pengembangan sistem nilai dalam berbagai lapangan kehidupan manusia baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat maupun negara.
Umat Islam Indonesia harus mewarisi semangat pluralisme yang tinggi, dengan menunjukan sikap positif terhadap pluralisme adalah suatu keniscayaan, tetapi terlebih karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern. Sebab segala kepentingan politik hanya akan mereduksi semangat kenabian yang bawa oleh agama.
Al-Qur’an sebagai wahyu telah menjadi sumber kehidupan umat Islam apapun mazhabnya, haruslah dipahami dalam kerangka yang lebih luas daripada sekedar bunyi teks al-Qur’an itu sendiri. Dengan demikian al-Qur’an akan menjadi nilai-nilai luhur yang merujuk pada kemaslahatan umat.
Berangkat dari pemahaman yang demikian menurut penulis perlu memunculkan adanya penekanan pada aspek akhlak beragama (religious compassion). Sehingga pengajaran agama pada masyarakat tidak selalu vertikal akan tetapi juga pada ranah horizontal, peka terhadap masalah-masalah yang berkembang di masyarakat. Masyarakat agama harus juga didorong untuk mengimplementasikan gagasan yang “melangit” pada kehidupan nyata.
Pada gilirannya sikap demikian akan menghindarkan penganut agama dari tindakan kekerasan, perselisihan baik berbentuk individu atau kelompok. Sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat tercapai di tengah-tengah masyarakat plural.